Misteri di Balik Layar Virtual

Gambar Ilustrasi JPG

 Nama Arga semakin dikenal sejak live stream-nya menembus angka 300 ribu penonton dalam semalam. Di dunia game online, dia bukan sekadar pemain — dia legenda. Reaksi cepat, strategi tajam, dan komentar-komentar sarkastik khasnya membuat penggemar betah menontonnya berjam-jam.

Tapi malam itu berbeda.

Sebuah pesan muncul di layar saat ia sedang menyelesaikan sesi terakhirnya di game Black Nemesis.

"Arga, siapkah kamu menghadapi dunia yang tak sekadar layar? Tekan link ini jika berani."
XVR://phantomcore.net/entry

Arga tertawa kecil. “Pasti fans yang iseng,” gumamnya. Tapi rasa penasaran—dan ego seorang gamer sejati—terlalu sulit ditolak.

Tanpa berpikir panjang, dia klik link itu.


Layar menjadi hitam, lalu bergelombang seperti air yang dilempar batu. Sebuah jendela virtual terbuka. Arga dikejutkan oleh interface baru yang belum pernah ia lihat. Dunia 3D realistis dengan peta labirin, langit merah senja, dan suara bisikan samar mengelilingi headset-nya.

[Level 1: The Mirror Room]

Dia berdiri di ruangan penuh cermin. Di tiap cermin, ada pantulan dirinya, tapi semuanya berbuat berbeda. Satu menangis. Satu tertawa. Satu menatapnya tajam dengan mata hitam kosong.

Sebuah tulisan muncul:

"Pilih versi dirimu yang paling kamu percaya."

Arga mengernyit. "Ini game atau psikotes?" Tapi dia memilih versi dirinya yang tenang—yang menatap lurus dengan mata penuh keyakinan.

Tiba-tiba, pintu terbuka. Level berikutnya menantinya.


[Level 2: The Forgotten Voices]

Ruangan berikutnya seperti lorong sekolah tua. Di sepanjang dinding, ada speaker tua yang mengeluarkan suara-suara dari masa lalu:

“Arga, kamu cuma buang-buang waktu main game!”
“Kamu nggak akan pernah sukses kalau terus kayak gini.”

Suara ibunya. Ayahnya. Bahkan mantan kekasihnya.

Dia harus memilih suara mana yang harus dia ikuti. Satu-satunya petunjuk hanya kompas digital yang terus berputar tak menentu.

Setelah beberapa detik hening, ia memilih suara yang paling pelan — suara dirinya sendiri berkata, "Jalanmu mungkin sunyi, tapi bukan berarti salah."

Lorong terbuka, dan ia terlempar ke kegelapan.


[Level 3: Avatar Tanpa Nama]

Kini dia tak sendiri. Di tengah dunia virtual yang seperti gurun digital, ada satu pemain lain. Tapi wajahnya buram, tanpa nama, tanpa suara. Hanya tulisan di atas kepala avatar itu:

"Help me. I'm still trapped."

Arga mencoba voice chat. Tak bisa. Ia kirim pesan. Tak dibalas.

Lalu tiba-tiba, misi muncul:

"Berikan sebagian memorimu untuk menyelamatkan pemain ini. Efeknya permanen."

Arga ragu. Ini hanya game, kan? Tapi kenapa rasanya nyata?

Tanpa alasan logis, ia memilih Yes.


Guruh terdengar. Dunia digital di sekitarnya mulai retak seperti kaca pecah. Warna-warna berhamburan. Arga merasa pusing. Layar headset-nya bergetar hebat. Ia mencopotnya — tapi ruangan tempat ia duduk sudah berbeda.

Dia kini berada di studio kecil, tapi semuanya buram. Laptopnya menyala, namun seluruh file-nya kosong. Di sudut layar, hanya ada satu folder bernama:

"Kembali"

Dengan gemetar, ia klik folder itu. Sebuah video muncul.


[Rekaman Kamera: 02:04 AM]

Wajahnya terekam. Tapi ia bukan sedang bermain.

Dia sedang berbicara. Kepada seseorang.

“Jika kamu membaca ini, berarti kamu berhasil keluar. Tapi aku tidak.”

“Game ini bukan hanya game. Ini percobaan AI realitas yang bocor. Kami uji coba dulu, tapi aku... aku terjebak. Aku copy diriku ke dunia virtual agar ada yang bisa keluar dan membawa pesan ini.”

“Selamatkan mereka. Jangan izinkan dunia virtual menelan kenyataan.”


Video berhenti. Arga terduduk lemas. Masih tak percaya.

Beberapa jam kemudian, ia menyalakan siaran langsungnya kembali. Tapi malam itu, wajahnya lebih serius dari biasanya.

“Teman-teman, malam ini aku nggak main game. Aku mau cerita sesuatu... dan kalian mungkin gak akan percaya.”

Dan sejak malam itu, channel-nya bukan cuma tempat bermain.

Tapi tempat mengungkap apa yang ada di balik layar virtual.

Post a Comment

0 Comments