Di Balik Tirai yang Tak Tersibak

Ilustration JPG


 I. Dunia yang Rapi di Permukaan

Pukul enam pagi, deru sepeda motor beriringan dengan suara adzan Subuh dan aroma jenang sumsum dari dapur-dapur kampung. Di kota kecil ini, hari-hari berjalan nyaris seperti doa yang diulang tanpa jeda: tenang, teratur, dan nyaris tidak pernah berubah.

Arum menutup tirai kamarnya. Sinar matahari belum sepenuhnya muncul, tapi langit sudah bersih dari bintang. Ia menyeduh kopi dengan takaran yang sama seperti hari-hari sebelumnya: dua sendok kopi hitam, satu sendok gula merah. Tidak lebih, tidak kurang. Keseimbangan kecil semacam itu adalah benteng terakhir yang ia pertahankan dari dunia yang suka mengintervensi hidup perempuan.

Ia tinggal seorang diri di rumah warisan orang tuanya—rumah limasan sederhana dengan lantai semen yang dingin dan lemari kayu tua yang memuat buku-buku pelajaran, novel lawas, dan sejumlah surat yang tak pernah ia buka. Di ruang tamu, lukisan keluarga tersenyum kaku di dinding, mengawasi setiap tamu yang datang dengan tatapan purba. Tak banyak yang datang, dan Arum pun tidak mengundang.

Di sekolah, ia adalah sosok guru ideal. Tepat waktu, tidak banyak bicara, dan selalu mengenakan kerudung warna netral. Murid-muridnya memanggilnya “Bu Arum” dengan nada segan, lebih karena jarak emosional daripada penghormatan. Ia mengajar Bahasa Indonesia, dan kadang kala, ia merasa satu-satunya orang di ruang kelas yang benar-benar memahami kekuatan kata-kata.

“Bahasa,” katanya suatu hari di kelas, “tidak hanya menyampaikan, tapi juga menyembunyikan.”

Beberapa siswa mencatat. Beberapa lainnya melamun. Salah satu dari mereka, seorang siswi bernama Rani, menatap Arum lebih lama dari seharusnya, seperti mencoba mengurai makna di balik kalimat itu. Arum menangkap tatapan itu, tapi tidak membalas.

Sepulang sekolah, Arum mampir ke pasar. Di antara suara tawar-menawar dan dentingan sendok pada wajan gorengan, ia menjadi bagian dari keramaian tanpa benar-benar menyatu. Seorang ibu penjual tempe menyapanya dengan senyum lebar.

“Belum ada jodohnya, Bu Arum? Cantik, pinter, lho.”

Arum tersenyum kecil. “Belum ada yang kuat menghadapi saya, Bu.”

Tawa pun pecah, sejenak. Lalu kembali ke sirkulasi tanya jawab standar tentang harga cabe, hujan yang belum turun, dan gosip tentang anak tetangga yang ketahuan ‘nginep’ dengan pacarnya. Hal-hal kecil yang menancapkan batas: siapa yang waras, siapa yang menyimpang. Siapa yang perempuan seutuhnya, siapa yang tinggal menunggu label.

Malam harinya, Arum membaca puisi Sapardi dari koleksi lamanya. Ia tidak sedang mencari makna, hanya ingin merasa dekat dengan sesuatu yang tidak menghakimi. Angin masuk dari jendela, membawa suara kucing kawin, anak-anak tertawa dari gang sebelah, dan… suara surat yang diselipkan di bawah pintu.

Amplop putih. Tanpa nama. Di dalamnya, hanya ada satu kalimat:

“Apakah diam selalu lebih aman daripada jujur?”

Jantung Arum berhenti sejenak. Pertanyaannya terlalu dekat. Terlalu tepat. Dan ia belum siap menjawab.

II. Retakan yang Mulai Terlihat

Keesokan harinya, Arum berdiri lebih lama di depan cermin. Kerudungnya sedikit miring, tapi ia biarkan saja. Di matanya sendiri, ia tampak biasa-biasa saja—seorang perempuan lajang, menjelang kepala tiga, yang tak pernah memaksa hidup untuk menjelaskan alasan atas segala keterlambatan.

Tapi ada sesuatu yang mengganggu di dalam pikirannya: sepucuk surat anonim dan kalimat yang menggantung seperti noda pada kemeja putih.

“Apakah diam selalu lebih aman daripada jujur?”

Ia membawa pertanyaan itu ke sekolah, menaruhnya di sela-sela buku paket dan modul ujian. Setiap kata yang ia ucapkan hari itu terasa hambar, seolah-olah seseorang sedang mengawasinya dari sudut kelas, menunggu ia tergelincir, membuka tabir.

Saat jam istirahat, Arum duduk di ruang guru dengan segelas teh panas. Suara obrolan tentang YouTube anak pejabat dan “gaya hidup liberal anak zaman sekarang” mendengung seperti nyamuk: mengganggu, tapi sudah terlalu biasa untuk diprotes.

“Bu Arum, murid kamu itu si Rani, ya?” tanya Bu Lestari dari bidang kesiswaan, dengan nada setengah bergosip.

“Kenapa memangnya?”

“Barusan dia dipanggil BK. Katanya tulisannya di jurnal itu… aneh. Macam puisi tapi gelap. Banyak bicara soal ‘cinta yang tak boleh ada’, begitu-begitu…”

Arum tidak menanggapi. Ia hanya mengangguk dan pura-pura sibuk membuka catatan. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang mengeras. Ia tahu tulisan siapa yang dulu juga pernah bicara soal cinta yang tidak boleh diumumkan. Ia ingat halaman-halaman puisinya dulu, yang disobek dan dibakar diam-diam karena takut ditemukan ibunya.

Siang itu, ia menemukan Rani duduk sendirian di pojok perpustakaan, di antara rak buku sastra dan biografi. Tangannya menggenggam buku Perahu Kertas, tapi matanya tidak sedang membaca.

“Rani,” panggil Arum pelan.

Gadis itu menoleh, ada keterkejutan sekaligus semacam pengharapan di wajahnya. “Ibu…”

“Apa kamu yang mengirim surat ke rumah saya?”

Rani tidak langsung menjawab. Ia menunduk, menarik napas panjang.

“Saya tidak tahu harus bicara ke siapa lagi. Tapi saat Ibu membacakan puisi Chairil minggu lalu… rasanya seperti ada yang dibuka. Dan saya ingin ada yang melihat saya, sebelum saya hilang.”

Kalimat itu menghantam Arum seperti ombak pertama yang menghancurkan tanggul. Sesuatu dalam dirinya ikut terbuka. Ia duduk di sebelah Rani, menjaga jarak aman yang diajarkan norma, tapi jiwanya sudah terlanjur menyusup lebih dalam.

“Kalau kamu bicara ke orang yang salah, Rani, mereka bisa menyakitimu lebih dalam.”

Rani menoleh. Matanya basah tapi tidak gemetar. “Lebih menyakitkan jadi orang yang bahkan tak pernah didengar.”

Tidak ada jawaban untuk itu. Hanya senyap, dan detak jam dinding yang terus memisahkan detik menjadi keputusan-keputusan kecil: bicara atau diam, berdiri atau mundur, hidup atau menghilang.

Malamnya, Arum membuka kembali kumpulan puisi lama yang ia simpan di dalam dus sepatu, jauh di belakang lemari. Di antara kertas yang menguning dan tinta yang memudar, ada satu puisi yang ia tulis saat berusia tujuh belas:

“Jika malam boleh jujur,
Maka pelukanmu tak perlu sembunyi.
Tapi kota ini selalu menyalakan lampu
untuk menangkap siapa yang tidak berjalan lurus.”

Ia menangis pelan. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya sesuatu dalam dirinya berkata: aku masih hidup.

III. Di Balik Norma – Fragmen-Fragment yang Terpendam

Kabar tentang Rani menyebar lebih cepat daripada angin barat yang membawa hujan ke kota kecil ini. Dalam dua hari, jurnal pribadinya—yang secara misterius ditemukan dan disebarluaskan oleh orang tua siswa lain—menjadi bahan bisik-bisik di koridor, di ruang guru, bahkan di warung kopi dekat sekolah. Tulisan-tulisan Rani yang memuat puisi tentang cinta sesama jenis, kehilangan arah, dan pertanyaan identitas segera dicap sebagai “penyimpangan yang perlu ditangani”.

Pihak sekolah memanggil orang tua Rani. Ibunya datang dengan wajah hancur, ayahnya tidak hadir—“tidak sanggup,” kata ibunya dengan suara gemetar, entah karena marah, malu, atau takut.

Rani diskors selama dua minggu. Alasan resmi yang diumumkan: “melanggar norma dan etika pendidikan.”

Arum duduk di ruang guru ketika surat keputusan itu dibacakan. Tangannya mengepal di bawah meja. Kata-kata seperti “penyadaran”, “pengawasan”, dan “pembinaan moral” terdengar lebih mirip hukuman daripada pendidikan.

Malam itu, Arum mendatangi rumah Rani. Rumah kecil bercat biru pucat di pinggir rel, dengan pagar bambu yang sudah miring. Ibunya membuka pintu dengan mata sembab dan tatapan waspada.

“Saya Bu Arum, guru Bahasa Indonesia Rani.”

“Masuk, Bu. Maaf rumah kami berantakan. Kami juga… sedang berantakan.”

Rani sedang duduk di pojok ruang tamu, memeluk lututnya. Ketika melihat Arum, ia tidak berkata apa-apa. Hanya menatap, seolah-olah ia sudah tahu tak ada yang bisa mengubah dunia ini agar sedikit lebih ramah.

Arum duduk di sampingnya. “Aku minta maaf.”

Rani mengerutkan alis. “Untuk apa?”

“Untuk tidak bicara lebih awal. Untuk membiarkan kamu menghadapi semua ini sendirian.”

Hening mengendap di antara mereka, seperti embun yang enggan jatuh dari daun.

Ibunya bergabung, duduk tanpa kata. Lalu ia berkata, pelan, patah-patah: “Saya tidak tahu harus bagaimana, Bu. Kami ini orang kecil. Tak berani melawan. Tapi saya juga tak tahu… bagaimana bisa punya anak seperti ini. Salah kami di mana?”

Arum memandang ibu itu—perempuan yang hatinya terkoyak antara cinta dan rasa malu yang ditanam oleh masyarakat. Ia ingin mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan Rani, bahwa cinta bukan penyakit. Tapi kata-kata itu terasa seperti bom dalam ruang sempit.

“Tidak ada yang salah dengan mencintai. Yang salah adalah saat cinta dibungkam sampai membusuk.”

Kalimat itu menggantung di udara. Tak ada yang menanggapinya. Tapi malam itu, saat Arum pulang, ia tahu bahwa ia sudah mulai kehilangan tempat di dunia lamanya—sekolah, komunitas, lingkungan sosial. Tapi mungkin itulah harga dari kejujuran: kehilangan kenyamanan yang dibangun dari kepalsuan.


Keesokan harinya, Arum berdiri di ruang guru saat rapat mendadak diadakan. Kepala sekolah, dengan wajah tegang dan suara yang penuh diplomasi, memanggil semua guru untuk “bersikap satu suara”.

“Kita harus menjaga citra sekolah. Jangan sampai ada pembelaan terhadap perilaku yang menyimpang. Saya dengar ada guru yang terlalu dekat dengan murid tersebut. Harap jaga jarak, demi kebaikan bersama.”

Tatapan Arum mengeras. Ia tidak berdiri. Tidak membantah. Tapi dalam dirinya, keputusan sudah bulat.

Malam itu, ia mulai menulis. Bukan puisi. Bukan catatan harian. Tapi sesuatu yang baru: sebuah pernyataan.

IV. Konfrontasi dan Kebenaran

Arum tidak tidur malam itu. Di kamarnya yang sunyi, ia menyalakan laptop dan mulai menulis. Kata demi kata keluar bukan dari pikirannya, tapi dari luka yang selama ini dikunci rapat oleh ketakutan.

Ia menulis surat terbuka, ditujukan kepada siapa pun yang selama ini merasa diam adalah jalan paling aman. Surat itu ia unggah ke blog pribadinya yang sudah lama mati suri, dan ia bagikan diam-diam kepada para murid, kolega, dan komunitas sastra lokal yang ia kenal.

Judulnya: “Mengajar di Negeri yang Takut Mendengar”

Dalam surat itu, ia menulis:

“Saya adalah seorang guru. Tapi lebih dari itu, saya adalah manusia yang pernah—dan masih—takut menjadi diri sendiri. Saya pernah diajarkan untuk diam demi selamat, tunduk demi diterima, dan menekan rasa demi dianggap normal.

Tapi hari ini saya menyaksikan seorang murid dihukum bukan karena ia mencuri, menipu, atau mencelakakan siapa pun—melainkan karena ia jujur. Karena ia berani mengatakan bahwa ia mencintai seseorang yang tidak seharusnya ia cintai menurut masyarakat.

Saya tidak bisa lagi pura-pura tidak melihat. Tidak bisa lagi menjadi guru yang baik tapi manusia yang pengecut.

Cinta bukan dosa. Ketulusan bukan penyakit. Yang sakit adalah sistem yang membungkam dan mempermalukan.

Jika saya harus kehilangan pekerjaan karena berkata seperti ini, biarlah. Tapi saya tidak akan lagi kehilangan diri saya sendiri.”

Surat itu menyebar lebih cepat dari yang ia bayangkan. Dalam dua hari, kolom komentar blognya penuh dengan pujian, amarah, dukungan diam-diam, dan ancaman terbuka. Beberapa guru mengirim pesan pribadi, mengatakan mereka setuju—tapi tidak bisa ikut bicara. Kepala sekolah memanggilnya ke ruangannya.

“Bu Arum,” kata kepala sekolah, dengan nada yang penuh tekanan lembut. “Tulisan Anda itu... tidak pantas. Bisa merusak nama baik institusi.”

“Nama baik seperti apa yang melukai anak-anak yang jujur?” jawab Arum tenang.

“Kita ini lembaga pendidikan, bukan ruang politik.”

“Benar, Pak. Dan karena itulah kita seharusnya mendidik dengan empati, bukan hanya dengan kurikulum.”

Kepala sekolah menatapnya tajam. “Apakah Anda sedang mengaku sesuatu?”

“Tidak. Saya hanya sedang tidak menyangkal.”

Kata-kata itu seperti palu terakhir di meja sidang. Arum keluar dari ruangan itu dengan dada ringan, meski ia tahu langkah-langkah di belakangnya tidak akan pernah kembali bersahabat. Hari itu, ia tidak mengajar. Ia duduk di ruang kelas kosong, melihat papan tulis yang masih memuat puisi Chairil Anwar yang belum dihapus:

“Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang.”

Ironi yang sempurna, pikirnya.

Sore harinya, ia menerima surat dari pihak yayasan. Isinya singkat: peringatan keras, dengan ancaman pemecatan jika ia kembali “menyuarakan isu-isu yang meresahkan”.

Arum tertawa pelan. “Meresahkan bagi siapa?” gumamnya.

Di luar gedung sekolah, Rani menunggunya dengan wajah campur aduk antara cemas dan lega. “Ibu… saya baca tulisan itu. Saya nggak nyangka… Ibu seberani itu.”

Arum menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia menyentuh pundak Rani dengan tangan yang tidak berjarak. “Bukan berani, Rani. Saya hanya sudah terlalu lama diam.”

V. Epilog – Tak Ada Akhir yang Damai, Tapi Ada Ruang untuk Jujur

Dua minggu setelah surat terbuka itu, Arum resmi diberhentikan dari sekolah. Surat keputusan itu dikirim lewat email, tanpa sapaan personal, tanpa upaya pembicaraan. Hanya paragraf dingin yang menyebutkan "pelanggaran nilai institusi", "menimbulkan keresahan", dan "tidak sesuai dengan asas keteladanan".

Ia membaca surat itu di ruang tamunya yang senyap. Tak ada air mata. Tak ada penyesalan.

Di dinding, kalender bergambar pahlawan nasional masih menunjukkan bulan yang sama — tapi bagi Arum, waktu sudah berpindah. Ia bukan lagi perempuan yang menggembok dirinya dengan nama baik dan rasa takut. Ia kini adalah seseorang yang, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, memilih berdiri meski gemetar.


Rani juga berhenti sekolah. Ibunya memutuskan untuk memindahkannya ke kota lain, ke sebuah madrasah dengan pengawasan lebih ketat dan lingkungan yang "lebih aman", katanya. Tapi sebelum pergi, Rani datang menemui Arum untuk terakhir kalinya.

“Ibu, saya ingin bilang terima kasih. Bukan karena Ibu membela saya. Tapi karena Ibu tidak ikut menunduk.”

Arum hanya mengangguk. Kadang tak perlu banyak kata untuk saling paham. Ia menyelipkan sebuah buku ke tas Rani — kumpulan puisi Sappho yang diterjemahkannya sendiri, diam-diam, bertahun-tahun lalu.

“Baca kalau kamu sudah siap. Dan kalau kamu tak lagi takut mencintai tanpa nama.”


Tiga bulan kemudian, Arum mulai mengajar di kelas-kelas kecil—bukan di sekolah formal, tapi di rumah-rumah baca, komunitas literasi pinggir kota, bahkan online. Ia menyebut ruang belajarnya: Kelas yang Tidak Lurus—nama yang membuat banyak orang bingung, tersenyum kecut, atau menghindar. Tapi bagi murid-muridnya, itu adalah tempat yang hangat. Tempat untuk belajar dengan hati terbuka, tanpa harus menyembunyikan siapa diri mereka.

Ia juga mulai menulis rutin di blog. Cerita tentang cinta, tentang pendidikan, tentang luka-luka kecil yang ditinggalkan oleh sistem yang selalu ingin seragam. Tulisannya dibaca ratusan orang. Beberapa memujinya, beberapa mencacinya. Tapi kali ini, Arum tidak menyembunyikan nama. Ia tidak menulis sebagai "penulis anonim" atau "guru rahasia". Ia menandatangani semuanya dengan satu nama:

Arum Lestari. Perempuan. Pengajar. Pernah takut. Sekarang tidak lagi.


Di dunia yang masih takut pada kejujuran, kisah Arum bukan akhir. Ia hanyalah satu suara di antara banyak yang lain, yang selama ini dibungkam. Tapi seperti lilin pertama di tengah gelap, ia cukup untuk menerangi satu ruangan.

Dan itu sudah lebih dari cukup untuk memulai perubahan.

 

Post a Comment

0 Comments