Laut itu perempuan. Menurut legenda yang beredar sejak mataram, ia ratu kidul dari samudra selatan yang sesekali datang mendampingi penembahan senapati, pendiri kerajaan itu, orang kuat abad ke-16
Dalam kitab wedhatama yang ditulis tiga abad kemudian, senapati bukanlah seorang penakluk , tapi pertama pengembara yang menyapa siapa saja dengan manis, sabar dan tulus, mardawa ing budaya tulus. Demikianlah di pantai selatan itu ia duduk bersemedi hingga larut, mengundang datang kedalam dirinya sumber yang dalam dan jauh yang mengirim ombak tak putus-putusnya.
Tapi ada ambivalensi disini. Dalam semedi itu laut menjelma jadi sesuatu yang masuk ke dalam diri, namun seakan-akan dapat di genggam ditelapak tangan.
Kinemat kamat ing ndriya
Rinegem sagegem dadi
Dengan kata lain, di satu pihak senapati membiarkan dirinya terbuka kepada yang lain yang nun disana, tapi dilain pihak ada kehendak merengkuh dan berdaulat atasnya, dumadya angrotomi. Dalam dirinya ada sikap menghayati hidup sebagai pengembaraan diatas bumi, di bawah langit, diantara yang fana, dihadapan yang ilahiat- empat lipatan yang disebut heidegger sebagai das gavier. Tapi pada saat yang sama wedhatama meletakkannya dalam posisi unggul. Kepadanya sang ratu kidul datang merunduk, sor prabaws lan wong agung bgeksiganda, bagaikan kalah oleh aura terpancar dari orang agung mataram itu.
Tapi bagaimanapun sang laut tetap berdaulat. Ratu kidul hanya datang mendampingi sang pertapa dalam alam yang tak terlihat, dalam momen yang hening, djroning alam palimunan, ing pasaban saben sepi. Dengan kata lain, dalam suasana mediatif. Hanya dengan itu, hanya dalam keadaan itu, dimana empati berbicara, nugraha atau berkat sang ratu masih berlaku
0 Comments